Acap kali kita mendengar ungkapan “Menjadi tua itu adalah pasti hukumnya, namun menjadi dewasa adalah suatu pilihan sifatnya”. Ya! Tepat sekali ungkapan ini. Seorang dengan usia 20, 30, atau bahkan 50 tahunan yang kita anggap tua, ternyata banyak yang belum dapat bersikap dewasa. Padahal usia semakin tahun semakin berkurang, namun jalan fikiran untuk memperbaiki kehidupan ini ternyata belum cukup berkembang.
Sehingga, tidak perlu menunggu tua untuk menjadi dewasa. Karena kedewasaan tidak selalu beriringan dengan berkurangnya usia. Lalu sebenarnya, apa sih makna dewasa? Secara umum, seorang dapat dikatakan dewasa apabila ia telah mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jelek (atau benar salahnya sesuatu). Namun dalam Islam, seorang dewasa adalah yang telah mampu memilih dan memilah serta mengkategorikan mana yang perintah dan mana yang larangan Allah تعلى. Adapun salah satu indikator sikap kedewasaan adalah bersikap bijak. Seorang yang memiliki sikap bijaksana tentu mampu mengendalikan dirinya dan ia pun mempunyai arah pandangan hidup yang jelas serta berkomitmen. Begitulah yang dapat saya pahami, walaupun tentunya seorang bijak tidak mutlak seperti itu. Saya rasa ikhwah sekalian lebih memahaminya daripada ane.
Memang tampaknya begitu mudah mencap diri sebagai seorang yang dewasa, namun tidak demikian adanya. Mari sejenak menengok kepada realita kehidupan sekitar kita. Seorang ayah ataupun kakek di usia rentanya, masih saja bergenit-genit menggoda gadis-gadis seksi, bahkan lebih parahnya hingga menggauli anak kandung, anak tetangga, ataupun cucunya sendiri untuk melampiaskan nafsu bejatnya. (Lalu apakah menurut kita dia seorang yang berfikir dewasa?). Dan masih banyak hal-hal kecil lainnya yang beredar di kalangan orangtua yang ternyata belum dewasa. Bahkan yang paling sering saya temui adalah orang-orang (yang tampak) dewasa dengan sikap ngambeknya. Waaahh!!! Ane begitu terkejut mendapati mereka, ternyata tidak cuma adik-adik kecil yang biasa ngambek ke orangtua kalau sesuatu yang diinginkan tidak didapatkan.
Memang tidak mudah untuk menjadi dewasa, ada masa transisi yang panjang, perlu ilmu, ada latihan, dan sebagainya. Maka wajarlah jika seorang akhi mengingatkan kita cara menuju dewasa dengan sedikit perumpamaan (kalimah thayyibah). Ungkapnya, “Ada banyak cara menjadi dewasa, kadang begitu mudah semudah membaca buku dan menemukan kearifan di tiap lembarnya. Bahkan ada yang lebih mudah, seperti bercermin pada setiap kejadian yang terjadi pada orang lain. Tapi tidak jarang, kita harus menempuh jalan yang begitu berat untuk menjadi dewasa dan sadar. Kita mesti melewati sungai fitnah yang deras, kudu membelah rimba cobaan dengan kerja dan sabar, bahkan kita harus penuh luka sebelum akhirnya memetik hikmah dan menjadi dewasa. Ada yang berhasil, namun banyak pula yang gugur di tengah jalan.”
Bagaimana, sudah ada inspirasi dari masukan ini tentang jalan menuju kedewasaan? Ya! Realitanya untuk menjadi dewasa, Pertama, kita kudu banyak belajar, tentunya terkait dengan segala topik yang mampu mengarahkan kita mencapai kedewasaan. Contohnya topik birrul walidain, di sini kita banyak belajar bahwa mentaati dan menghormati orangtua tentu ada tata caranya pula, sikap merajuk yang sering kita tampakkan pada orangtua ternyata berdampak psikologis pada orangtua, dan sebagainya. Namun perlu saya tekankan bahwa belajar tidak mesti dengan baca buku saja, selagi banyak jalan menuju Roma tentu banyak peluang yang kita bisa manfaatkan sebagai media belajar.
Kedua, bercermin diri, di sini saya bukannya mengajak ikhwah fillah untuk terus menatapi diri di depan cermin tentunya. Tapi bercermin tentang diri kita, tentang apa yang telah kita lakukan, tentang sifat-sifat kita yang harus diperbaiki, dan sebagainya. Serta tentang cinta kita kepada Rabb yang Maha Mencinta. Selanjutnya saya rasa ikhwah lebih paham tentang ini daripada saya.
Ketiga, dengan latihan. Kita tidak cuma perlu latihan kebugaran fisik atau angkat besi untuk menjadi dewasa. Kita juga perlu banyak, banyak, dan lebih banyak waktu untuk berlatih di setiap perubahan (hijarah) diri kita. Ya! Diaantaranya dengan melatih kesabaran jika kita adalah orang yang suka ngambek, atau dengan “memaksa” diri melakukan ibadah jika kita masih suka bermalas-malasan pada yang satu ini, serta masih banyak bentuk latihan lainnya. والله ولي التوفيق
Oleh: Ustadz Hizbul Majid Al-Jawi