Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ مَرْآةُ أَخِيهِ وَالْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ
"Seorang Mu'min adalah cermin bagi saudaranya. Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain." (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-)
Sahabat...
Bukan tanpa alasan bila dalam potongan hadits diatas Rasululullah shallallahu alaihi wasallam memilih cermin sebagai perumpamaan seorang mu'min.
Itu karena tak ada yang lebih tulus dari cermin.
Iya, cermin tempat berkaca sebagian kita diwaktu pagi.
Cermin tak pernah berdusta, dia selalu berbicara pada puncak kejujurannya.
Dalam diamnya, dia memberitahu apa adanya tentang kita.
Dia juga tak pernah menyimpan dendam, sebab ketulusannya paripurna.
Kita bisa merasa apa saja di depannya. Merasa hebat, tampan, cantik, atau apa saja, bahkan kita bisa memanipulasi jiwa dan hati kita dengan apa saja, namun apa yang dia lihat dari kita akan ditampakkan apa adanya.
Bila kita telah pergi, ia tidak akan menyimpan bayangan wajah kita di dalamnya.
Begitu juga seorang mu'min, dia tidak akan membeberkan kekurangan saudaranya pada orang lain.
Dia akan akan menutupi kekurangan itu, seperti cermin yang tak membiarkan bayangan orang lain tinggal di dalamnya.
Ketulusan cermin, sejatinya adalah pekerjaan hati, memerlukan seni untuk menatanya.
Seperti cermin yang tak boleh buram, maka ketulusan seorang mukmin tak boleh ternodai oleh kepentingan-kepentingan apapun, termasuk cara kita memaknai ketulusan itu.
Atau kepentingan lain yang mencari manfaat dari ketulusan itu.
Ketulusan haruslah terwujud pada pribadi mu'min yang shaleh, agar dia menjadi cermin hidup bagi saudaranya.
By: Ustadz Aan Chandra Thalib