Kiat Menundukkan Lisan

Dalam banyak kesempatan, Anda menyadari betul akan pentingnya diam. Namun, secara realitas Anda sering tidak sanggup melakukannya. Badai emosi dan kebiasaan yang mendarah daging cenderung mengalihkan keinginan Anda untuk tidak berbicara. Berkali-kali Anda berusaha diam, namun berkali-kali pula Anda mengalami kegagalan.

Berbagai dalil dan keterangan yang menunjukkan pentingnya diam dalam komunikasi telah kita baca dan renungkan, tetapi lagi-lagi usaha untuk mempraktikkannya tidak berhasil. Kondisi semacam ini bukanlah hal yang baru, dan tidak hanya terjadi pada diri Anda, melainkan para ulama pun merasakannya.

Suatu hari Muhammad bin Wasi berkata Malik bin Dinar:

يَا أَبَا يَحْيَى حَفْظُ اللِّسَانِ أَشَدُعَلَى النَّاسِ مِنْ حِفْظِ الدَّنَاِنيرِ وَالدَّرَاهِم

"Hai Abu Yahya, ketahuilah bahwa menjaga lisan itu lebih berat dibanding menjaga dinar dan dirham"[1]

Lantas tahukah Anda penyebab utama kegagalan Anda untuk diam selama ini? Menurut hemat saya, setidaknya ada dua faktor yang acap kali menyebabkan keinginan Anda untuk diam kandas ditengah jalan.

Pertama, kebiasaan menuruti rasa ingin tahu terhadap segala hal. Hasrat yang melampaui batas ini membuat Anda menghabiskan waktu untuk mencari tahu sesuatu yang tidak bermanfaat sekalipun.

Kedua, kebiasaan iseng berbicara alias sekedar mengisi waktu luang, atau hanya menghangatkan suasana pergaulan dengan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat. Anda mengira ucapan Anda tersebut akan berlalu begitu saja, sia-sia belaka, tanpa ada pertanggung jawabannya.

Setelah mengetahui faktor penyebab kegagalan Anda, sekarang perlu dicarikan cara pengobatannya, antara lain dengan menempuh dua kiat berikut.

1. Mengingat Hari Pembalasan Setiap Amal

Tumbuhkanlah kesadaran terhadap ajal yang berada didepan mata, sebab selanjutnya Anda akan mempertanggungjawabkan setiap kata yang terucap dari lisan. Simaklah firman Allah عَزَّ وَجَلَّ berikut:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."(QS. Qaf [50]: 18)

Simak pula sabda Nabi kita, Muhammad صلى الله عليه وسلم, kepada Mu'adz bin Jabal di bawah ini:

((أَلا أُخبِرُكَ بِملاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ:بَلَى يَارَسُولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَامُعَاذُ. وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَو قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلسِنَتِهِمْ؟))

"Maukah kamu aku ajarkan kunci segala sesuatu?" Spontan Mu'adz menjawab: "Tentu saja." Beliaupun memegang lisannya dan berpesan: "Hendaklah kamu menahan anggota tubuhmu yang satu ini." Ingin mengetahui lebih jauh, Mu'adz kembali bertanya: "Wahai Nabi Allah, haruskah kita bertanggung jawab atas setiap ucapan kita?" Mendengar pertanyaan ini, beliau menjawab: "Betapa meruginya ibumu, hai Mu'adz. Adakah yang menyebabkan manusia tersungkur dalam Neraka selain tutur kata mereka sendiri?"[2]

2. Membatasi Pergaulan Antara Sesama

Hendaklah Anda membatasi pergaulan di masyarakat atau mengurangi waktu interaksi dengan sesama manusia kecuali seperlunya. Bergaul secara bebas mau tidak mau akan memancing Anda berbicara atau terseret dalam pembicaraan yang tidak berguna, bahkan pada hal-hal yang diharamkan. Itulah konsekuensi pergaulan tanpa pembatas diri, terlebih apabila teman Anda kurang menyadari bahaya lisan.

Kesuksesan Anda dalam menerapkan dua kiat di atas amat bergantung pada waktu memulainya dan upaya pembiasaan diri dengannya. Sebagaimana bunyi pepatah populer: "bisa karena biasa". Anda merasa berat menahan lisan karena selama ini terbiasa melepasnya dari segala pengekangan dan pengawasan. Adapun setelah Anda membiasakan diri untuk lebih banyak diam dibanding berbicara, niscaya kondisinya berbalik; diam terasa ringan dan berbicara menjadi berat, bukan karena tidak mampu berbicara namun karena semakin waspada. Demikianlah sikap para ulama terdahulu, kaum Salafus Shalih.

Imam Ibnu Rajab رَحِمَهُ اللَّهُ menyatakan: "Tidaklah para ulama memilih diam dan meninggalkan perselisihan atau perdebatan dikarenakan kebodohan dan ketidakmampuan untuk mengalahkan lawan komunikasi. Sungguh, mereka diam atas dasar ilmu dan karena takut kepada Allah. Dan tidaklah orang-orang selain mereka yang banyak bicara, secara panjang lebar, dikarenakan lebih berilmu. Justru, sejatinya mereka melakukannya berdasarkan kesenangan pribadi dan kekurang waspadaan.

Suatu hari Imam al-Hasan al-Bashri yang ditemani Farqad masuk ke masjid. Imam kemudian duduk di dekat satu perkumpulan yang sedang membicarakan sesuatu. Setelah mendengar apa yang mereka bicarakan, imam berbalik dan menghadap Farqad dan menyatakan:

يَا فَرْقَدُ ، وَاللَّهِ مَا هَؤُلاءِ إِلا قَوْمٌ مَلُّوا الْعِبَادَةَ وَوَجَدُوا الْكَلامَ أَهْوَنَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْعَمَلِ وَقَلَّ وَرَعُهُمْ فَتَكَلَّمُوا.

"Hai Farqad! Demi Allah, mereka adalah orang-orang yang telah ditimpa kejenuhan dalam beribadah. Tidak lama lagi mereka akan menganggap berbicara itu begitu mudah, sebagaimana menjadi kurang waspada, sehingga mereka berbicara dengan ceroboh."[3]

[Disalin dari buku Cerdas Berkomunikasi Ala Nabi, Penulis Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A. Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i - Jakarta]
___________________________
Footnote:
[1] Tarikh Dimasq karya Ibnu Asakir (56/163)
[2] HR. At-Tirmidzi
[3] Hilyatul Auliya' Karya Abu Nua'im (II/156-157)

Postingan terkait: