Ngobrol Dengan Seorang Nasrani V

Diantara tema pembicaraan yang saya bicarakan dengan teman duduk seorang nasrani di kereta SANCAKA SORE ialah tentang pendidikan anak.

Bapak tersebut menceritakan perihal pengalaman hidupnya yang hanya lulusan sekolah dasar, namun untuk urusan kemampuan inteligensi dan pengetahuannya tidak kalah dengan lulusan perguruan tinggi. Bahkan pada prakteknya, ketika mengerjakan proyek pengerjaan elevator, sering kali ia mampu mengerjakan dan menyelesaikan masalah masalah yang tidak dapat dilakukan oleh seorang sarjana.

Ia menuturkan bahwa dirinya memiliki keuletan, dan semangat bekerja yang tetap berkobar walau telah berkepala enam alias berumur lebih dari enam puluh tahun. Ia memulai bisnisnya dari nol, diawali dari seorang kuli yang haus akan pengalaman dan penuh dengan rasa ingin tahu.

Ia mengeluhkan pendidikan kondisi anak muda zaman sekarang yang cengeng, lemah mental namun banyak bertingkah ( sok hebat ).

Setelah sekian banyak bercwrita tentang perjalanan hidupnya mencari pengalaman dan pengetahuan, dan saya hanya mendengarkan dan sesekali menimpalinya, maka tiba saatnya saya berkomentar.

Saya memulai komentar saya dengan berkata : pendidikan yang ada saat ini lebih menekankan pada pengembangan pengetahuan semata. Adapun pendidikan perilaku apalagi moral ( akhlaq ) maka benar benar jauh dari dunia pendidikan kita saat ini.

Bahkan kebanyakan orang tua saat ini tanpa sadar menjadikan anak anaknya menjadi seperti yang bapak sampaikan, malas, lemah mental dan hidup foya foya.

Banyak orang tua yang berkata kepada anaknya; nak, kamu fokus belajar saja, ndak usah ikut bekerja bersama ayah atau ibu. Ayah atau ibu lebih bangga bila engkau mendapat nilai 100 dibanding bisa masak atau menanam atau ikut menjaga toko atau mengerjakan pekerjaan ini dan itu.

Banyak orang tua beranggapan bahwa masa depan anaknya akan moncer bila anaknya selalu mendapatkan nilai 100 di sekolahnya.

Pemikiran semacam ini menurut hemat saya menyelisihi fakta, karena untuk urusn masa depan alias pekerjaan apalagi penghasilan tidak identik dengan pendidikan. Betapa banyak orang yang rendah pendidikannya atau lemah ketika sekolah, namun berkat keuletan dan semangat kerjanya yang bak baja "sukses" menjadi orang kaya raya.

Fakta membuktikan bahwa urusan rejeki adalah urusan karunia Allah, bukan urusan pendidikan. Karena itu makhluq makhluq lain seperti burung misalnya, tidak pernah menempuh pendidikan namun hidup bahagia. Bahkan burung sering kali dijadikan simbul sukses manusia; betapa banyak manusia yang merasa bahwa di antara indikator orang sukses ialah bila telah mampu memiliki beraneka ragam burung yang mampu berkicau bagus. Mungkinkah manusia kalah dengan burung?

Burung di pagi hari riang gembira, karena itu biasnya burung burung berkicau di pagi hari, dan ketika matahari telah mulai terik semua burung diam dan sibuk bekerja mencari makan. Dan bila sore hari telah tiba, maka kembali burung berkicau riang sebagai gambaran akan rasa syukur dan kepuasan dengan apa yang telah mereka dapatkan.

Setahu saya juga tidak ada burung yang membuat lumbung atau menimbun. Sebagaimana tidak ada burung yang memakan makanan burung lainnya. Hng makanannya biji bijian, maka tidak akan makan pisang, dan yang makanannya pisang tidak akan memakan madu bunga dan demikian seterusnya.

Dan bila malam hari tiba semua burung beristirahat , tidak bekerja dan tidak pula berkicau. Setahu saya hanya burung "HANTU" yang bekerja di malam hari.

Kondisi ini sangat berbeda dengan manusia, betapa banyak manusia yang bekeja lembur, siang berlanjut malam. Walau demikian tetap saja merasa belum cukup, pesimis terhadap masa depan, sehingga perlu mengikuti berbagai program asuransi, dan banyak yang menghalalkan segala macam cara untuk mengeruk penghasilan lalu menimbunnya.

Betapa banyak manusia yang menghalalkan segala macam cara untuk mengetuk pendapatan, termasuk merebut hak orang lain. Walau demikian kita masih merasa kekurangan dan dirundung kekawatiran akan hari esok. Karena itu, nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memotifasi ummat Islam dengan bersabda:

لو أنكم تتوكلون على الله حق توكله، لرزقكم كما يرزق الطير، تغدو خماصا وتروح بطانا

Jikalau kalian benar benar bertawakkal (berserah diri) kepada Allah, niscaya Allah melimpahkan rejeki kepadamu sebagaimana Allah memberikan rejeki kepada burung, yang di pagi hari keluar dari sangkarnya dalam kondisi lapar dan di sore hari pulang lagi ke sangkarnya dalam kondisi kenyang. ( Ahmad dll )

Karena itu, untuk urusan pendidikan, sepatutnya kita meluaskan arti pendidikan kita, sehingga mencakup pendidikan mental, kecerdasan pikiran alias ilmu pengethuan dan juga kecakapan perilaku, dan tidak kalah penting mencakup pendidikan idiologi atau iman.

Dikisahkan bahwa suatu hari ada seorang wanita di depan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memanggil putranya, dengan berkata: nak, kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.

Mendengar panggilan wanita itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada wanita itu: apa yang hendak engkau berikan kepadanya? Wanita itu menjawab: aku hendak memberinya sebiji kurman. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menimpali jawaban wanita itu dengan bersabda:

أما إنك لو لم تفعلي كتبت عليك كذبة

Ketahuilah bahwa: jika engkau tidak memberinya apapun, maka ucapanmu ini telah dicatat sebagai satu kedustaan. ( Ahmad dan lainnya )

Di negri kita, bahkan di keluarga kita, pendidikan hanya dikaitkan dengan ilmu pengetahuan semata. Adapaun moral. Akhlaq, apalagi keimanan benar benar telah di abaikan. Maka itu lahirlah generasi seperti yang bapak keluhkan.

Berkaitan dengan pekerjaan, islam mengajarkan bahwa kita harus bersikap mulia dan produktif, sehingga mampu memenuhi kebutuhan sendiri dan bahkan mampu menyantuni orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ، فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِيَ بِهِ مِنَ النَّاسِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلًا، أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ، فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Bila Engkau pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar lalu engkau memikulnya, dan dari hasil penjualannya engkau bersedekah dan tentunya mencukupi kebutuhanmu sendiri sehingga tidak butuh kepada uluran tangan orang lain, maka itu lebih baik dari pada engkau meminta minta kepada orang lain, baik orang itu memberimu atau menolak permintaanmu. Sejatinya tangan yang berada di atas lebih baik dibanding tangan yang di bawah. Dan untuk urusan nafkah, maka mulailah dari orang yang menjadi tanggung jawabmu. ( Muttafaqun alaih)

Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ngobrol Dengan Seorang Nasrani V"

Catat Ulasan