Sekilas pernyataan tersebut wajar; ummat haus akan petuah para ustadz, para aktifis menggebu gebu, dan hanya sekali sebulan. Apa yang menghalangi para ustadz untuk meluangkan waktunya yang hanya sekali sebulan? Mungkinkah ustadznya sudah bosan mengajarkan ilmu? Ataukah "amplopnya" kurang tebal sehingga ustadznya mulai pilih pilih yang "amplopnya" tuebbbaaal, apalagi yang ngundang adalah majlis taklim ibu ibu tajirah?
Kira kira demikian rangkuman keluhan sebagian atau banyak aktifis yang dikirimkan ke saya. Saya tidak akan membantah keluhan para aktifis tersebut, apalagi merasa perlu untuk mewakili semua ustadz atau juru dakwah.
Saya hanya ingin mengajak para aktifis untuk berpikir cerdas dan bijak:
- Ada banyak kota di indonesia? Sadarkah antum bahwa para aktifis di setiap kota yang ada di indonesia juga mengucapkan kata kata yang sama: masak hanya sekali sebulan ustadz tidak bisa?
- Tahukah antum para aktifis bahwa para ustadz juga punya yayasan atau sekolahan yang harus ia kelola dengan baik? Bayangkan andai para ustadz menuruti keinginan para aktifis di seluruh kota di nusantara yang masing masing berkata "hanya sekali sebulan", kira kira bagaimana nasib sekolahan para ustadz tersebut?
- Sadarkah antum para aktifis bahwa di kota tempat tinggal para ustadz juga ada para aktifis yang juga haus akan ilmu dan petuah para ustadz?
- Sadarkah antum para aktifis, bahwa penduduk sedaerah dengan ustadz juga telah menyusun sekian banyak kegiatan, ada mantenan, kajian rutin dan tidak rutin, syukuran, konsultasi, dll?
- Tahukah antum bahwa para ustadz juga punyak anak istri yang juga menuntut untuk dididik bukan hanya sekali sebulan namun sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan dan sepanjang tahun dan bahkan sepanjang hidup para ustadz?
- Mungkinkah antum para aktifis lupa bahwa para ustadz belum bisa mengkloning tubuhnya? Sehingga kalau terus berputar bagaikan kipas angin, cepat atau lambat akan "aus" dan bila "aus" maka tidak ada yang jual spare parts badannya.
- Lupakah antum bahwa para ustadz adalah manusia biasa yang juga punya perasaan, cinta, benci, bahagia, rindu, dan juga romantis? Salahkah bila para ustadz menuruti sebagian dari perasaannya dengan duduk dengan tentram bercengkrama bersama anak dan istrinya? Mungkinkah hanya para aktifis yang berhak merasakan itu semua? Benarkah hanya para aktifis yang dibenarkan; bila malam tiba duduk dengan tentram di tengah keluarganya dan bila pagi tiba terutama di saat libur kerja, pergi bergandengan tangan bersama anak istrinya menghadiri kajian ustadz atau sekedar rekreasi untuk mengusir kejenuhan setelah beraktifitas sepekan penuh?
- Mungkinkah antum juga lupa bahwa anak istri para ustadz juga berhak untuk menikmati suasana damai bersama suami dan ayah mereka, bercengkrama dan bercanda ria? Haruskah istri dan anak para ustadz puas dengan kesunyian sepanjang hidup sebagai "imbalan" atas status mereka sebagai istri dan anak seorang ustadz? Betapa kasihannya mereka bila harus demikian adanya.
- lupakah antum bahwa budaya atau sunnahnya para ulama sejak dahulu ialah "menuntut ilmu" dan bukan "mengundang ilmu"? Dan salahkah bila seorang yang berilmu duduk di rumahnya agar orang yang "benar benar butuh ilmu" datang unuk bersimpuh dan merasakan perjuangan dan pngorbanan menuntut ilmu?
Dahulu imam ashma'i berkata:
من لم يحتمل ذل طلب العلم ساعة بقي في ذل الجهل ابدا
Orang yang tidak tabah menanggung derita menuntut ilmu yang hanya sesaat, maka ia selamanya akan hidup hina dalam kebodohan.
Usulan solusi: ustadnya menetap di kota masing masing, sedangkan yang merasa butuh ilmu maka berdatangan ke tempat para ustadz untuk thalabul ilmu.
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
Belum ada tanggapan untuk "Ustadznya Tidak Siap Diundang Setiap Ke Setiap Tempat"
Catat Ulasan