Syeikh Utsaimin -rohimahulloh- mengatakan:
"Menjadi syarat bagi seorang mufti: dia harus mujtahid.
Dan betapa banyak mufti-mufti yang tidak mujtahid! Ada yang hanya bertaklid, dan ada yang masih kerdil (ilmunya) hanya tahu satu dua hadits, lalu memberanikan diri untuk berfatwa.
Mereka mengira PASAR FATWA itu seperti pasar barang dagangan, sehingga setiap orang bisa masuk di dalamnya dan bisa untung!
Mereka tidak tahu bahwa 'pasar fatwa' itu termasuk pasar yang paling membahayakan… Dahulu para ulama salaf -rohimahulloh- saling menolak untuk berfatwa, setiap dari mereka mengatakan (saat ditanya): 'pergilah kepada si fulan' dan yang lain mengatakan: 'pergilah kepada si fulan'."
[Syarah Nazhom Waroqot, hal: 219].
---------
Sungguh fatwa itu punya konsekuensi yang sangat berat, karena saat berfatwa sebenarnya seseorang sedang berkata atas nama Allah sebagai pembuat syariat… Jika berkata atas nama RAJA saja seseorang harus extra hati-hati, bagaimana bila dia berkata atas nama RAJANYA PARA RAJA?!
Syeikh Sholeh Fauzan -hafizhohulloh- mengatakan:
"Seorang mufti haruslah takut kepada Allah, jangan sampai dia berkata tanpa ilmu, dan jangan sampai dia berfatwa dg kejahilan atau hawa nafsu. Harusnya dia takut kepada Allah, karena dia akan menanggung dosa orang yang dia beri fatwa.
Adapun orang yang meminta fatwa: Jika dia tidak tahu bahwa si mufti itu telah berfatwa tanpa ilmu atau tanpa kebenaran, maka si peminta fatwa itu diberi uzur, dan dosanya ditanggung si mufti.
Tapi bila si peminta fatwa itu tahu bahwa si mufti itu berfatwa tanpa ilmu dan tanpa kebenaran, maka dia tidak boleh (mengamalkan fatwanya) lalu mengatakan bahwa ini dalam tanggungan si mufti.
Jika memang si peminta fatwa tahu hal itu, maka (dosanya) itu ditanggung si peminta fatwa juga, dua-duanya menanggung dosa, baik si mufti maupun si peminta fatwa".
Oleh: Ustadz Musyaffa' ad Dariny
Belum ada tanggapan untuk "Mereka Mengira PASAR FATWA itu Seperti Pasar Barang Dagangan"
Catat Ulasan