Akhir-akhir ini istilah Islam Nusantara sering muncul dalam artikel, diskusi bahkan dalam perbincangan di level kenegaraan. Di antaranya adalah apa yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo pada saat pembukaan Munas Alim Ulama NU di Masjid Istiqlal (14/06) lalu. Istilah ini kemudian menimbulkan polemik di sebagian masyarakat. Kita ambil contoh, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengkritik istilah ini, sebagaimana dimuat BBC (15/06), sedangkan disudut lain, Azyumardi Azra mendukung istilah ini, demikian pula Said Aqil, ketua Nahdatul Ulama.
Apabila kita simpulkan, yang diinginkan dengan istilah Islam Nusantara adalah “Islam yang didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus” atau Islam Nusantara adalah pembanding dari “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara” (Said Aqil). Definisi lain di antaranya, Islam yang bersifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai (Azyumardi Azra).
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Islam Nusantara ini sudah final sehingga tidak menyisakan ruang kritik? Tulisan ini akan mencoba menggali dan mendiskusikan Islam Nusantara lebih dalam dengan singkat.
Struktur Fungsi Agama dan Budaya
Peter L. Berger mengatakan bahwa agama adalah nomos bagi manusia. Nomos di sini adalah semacam payung konsep yang dengannya manusia mulai mampu memetakan fungsi dan makna keberadaan dirinya. Tidak jauh beda dengan Geertz yang mengatakan bahwa agama adalah penghubung dari dua sumbu: Worldview dan Ethos, di mana worldview adalah konsep pijakan kita dalam memandang dunia ini seperti apa dan ethos adalah konsep pijakan tentang bagaimana kita hidup, termasuk tentang bagaimana manusia saling berinteraksi. Dengan kata lain, dua poros yang digabung oleh agama ini adalah poros vertikal kepada Tuhan dan poros horizontal kepada manusia lain. Semua agama memiliki fungsi sebagai penghubung dua poros ini, hanya saja adakalanya titik berat satu agama terhadap satu poros berbeda dengan yang lain.
Islam dalam doktrinnya sebenarnya tidak berbeda, bahkan Islam memberikan keseimbangan pada kedua poros tersebut. Misalnya, dalam surat al Isra ayat 23-24, di awal ayat disebutkan: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Ayat ini kemudian menjelaskan larangan berkata buruk pada orang tua dan anjuran mendoakan orangtua. Di sini kita melihat realisasi kedua poros yaitu ibadah kepada Tuhan dan manusia lain, dalam hal ini dalam skup terkecil yaitu keluarga. Ayat-ayat yang memerintahkan seorang muslim untuk shalat dan diikuti dengan menunaikan zakat sebenarnya menunjukan adanya keseimbangan antara poros vertikal dan horizontal tersebut.
Apabila kita tengok definisi Islam Nusantara adalah Islam yang merangkul budaya dan tidak memberangus, penuh sopan santun, toleransi dan sebagainya, maka ranah pembicaraan Islam Nusantara hanya menitikberatkan pada satu poros saja, yaitu poros horizontal. Poros hubungan antara satu manusia dan manusia yang lain, dari keluarga hingga masyarakat. Di sini kita melihat kejomplangan, ketidakseimbangan dalam apa yang ditawarkan oleh Islam Nusantara. Penitikberatan pada satu poros horizontal ini malah sebaliknya akan mengganggu keseimbangan dua poros tersebut yang telah dibuat secara apik oleh Islam. Dengan kata lain, penambahan konsep Nusantara dengan definisinya akan merusak tatanan Islam sendiri yang sudah seimbang.
Poros Horizontal Bermakna Vertikal
Sangat menarik bila kita membaca salah satu hadis nabi Muhammad yang ada dalam Shahih al Bukhari. Hadis tersebut menyebutkan bahwa barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya, Karena sesungguhnya para malaikat itu terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia. Saya ingin menggarisbawahi frase: “apa-apa yang mengganggu manusia”. Rupaya bau yang dirasakan oleh manusia karena bawang putih/merah tersebut dapat mengganggu malaikat dan karenanya pelaku diminta untuk tidak mendekati masjid dalam rangka ibadah. Di sini kita melihat bahwa aspek poros horizontal dimasukkan dalam poros vertikal. Artinya, konsep hubungan dengan sesama manusia secara langsung dikaitkan dengan value dalam poros vertikal. Dengan kata lain, hubungan antar manusia bukan hanya terkait manusia itu sendiri tetapi langsung terkait dengan ibadah. Poin ini sangat kuat dalam Islam.
Islam Nusantara, rupanya tidak menawarkan keselarasan dan kesinkronan antara dua poros ini. Sebagai sebuah bentuk artikulasi budaya atas Islam, Islam Nusantara tidak mampu menawarkan value (pahala, surga, dan sebagainya) yang menjadi stimulan bagi manusia untuk melakukannya. Tidak lain karena value tersebut hanya bisa diambil dari poros vertikal dalam fungsi agama.
Pendekatan Antropologis yang Ideologis
Mungkin sebagian orang bisa membantah: Islam Nusantara juga bisa menjanjikan value, karena dalam al Quran dan hadis kan diajarkan juga tentang toleransi, tenggang rasa, menghormati orang lain, dan berbagai nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainya, dan ini semua akan berpahala dan dijanjikan surga. Sebagaimana definisi Islam Nusantara yang dipaparkan oleh Azyumardi Azra dengan sifat tawasut (moderat), jalan tengah, tidak ekstrim kanan dan kiri, dan selalu seimbang, nilai-nilai ini bisa dicari dalam al Quran maupun hadis.
Apabila kita berpikir seperti di atas, maka sebaliknya, ini akan menunjukkan ketidakperluan Islam Nusantara itu sendiri. Apabila nilai-nilai toleransi, moderat, inklusif, dan sebagainya itu diakui telah eksis di dalam doktri Islam yaitu al Quran dan hadis, maka yang diperdebatkan hingga memunculkan konsep Islam Nusantara hanyalah tataran pelaksanaan dari nilai-nilai yang sudah ada tersebut. Dengan kata lain, objek pembicaraan bukanlah pada sebuah religi yang bernama Islam tetapi pada manusia yang menjalankan nilai-nilai tersebut yang lebih sering kita sebut sebagai Muslim. Istilah Muslim Nusantara sebagai sebuah istilah yang menggambarkan aplikasi nilai-nilai Islam yang toleran, moderat, mungkin lebih tepat dan sebenarnya Islam telah mengakomodir hal ini. Tentunya nyari setiap muslim pernah mendengar ayat ke 13 dalam surat al Hujurat, yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Dalam ayat ini jelas ditunjukan kondisi manusia yang beraneka bangsa dan korelasinya dengan ketakwaan atau aplikasi dari nilai-nilai religi itu sendiri.
Pembedaan antara Islam dan Muslim di dalam konsep kredo Islam sendiri telah jelas. Dikotomi dan pembedaan pemakaian antara kedua istilah ini juga tidak diperdebatkan. Bila kita menggunakan kata Islam maka kita akan merujuk pada value system religi itu sendiri dan Muslim adalah sisi manusia yang menjalankan value system tersebut. Islam Nusantara, setelah kita lihat definisi dan diskursus di dalamnya, ternyata lebih cenderung melihat Islam dari sisi antropologis, dari sisi manusia yang menjalankan dan kemudian mengangkatnya menjadi sebuah ideologi. Ideologi yang hendak membawa manusia Indonesia menjadi superior dalam hal keIslaman dibanding lainnya dengan standar ketakwaan yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Melihat gejala ini, saya teringat bagaimana Jepang masuk ke kancah Perang Dunia II dan mengekspansi wilayah Asia Tenggara dengan slogan “Saudara Tua Bangsa Asia” yang sebenarnya bentuk ideologisasi studi antropologi yang dilakukan oleh Yanagita Kunio yang terinspirasi dari pohon kelapa—yang tentunya masih sangat sangat dapat diperdebatkan hasil penelitiannya pada waktu itu.
(2015.07.05)
Oleh: Andy Bangkit, Ph.D.
Belum ada tanggapan untuk "Islam Nusantara, Mungkinkah?"
Catat Ulasan