Pada hakikatnya kesendirian bukan duka atau kesusahan, ia adalah suasana lain dari keunikan dan keistimewaan yang dimiliki seseorang.
Sejarah banyak mencatat kesendirian orang-orang besar. Seperti kesendirian Hajar ibunda Ismail alaihissalam ditengah sahara, kesendirian Yusuf alaihissalam saat dilempar ke dalam sumur, kesendirian Maryam saat mngandung bayi Isa alaihissalam, kesendirian Imam Ahmad di hari-hari fitnah, juga kesendirian Ibnu Jauzy di dalam penjara dan masih banyak lagi.
Namun lihatlah buah dari kesendirian itu.
Dari Hajar Allah menciptakan bangsa yang besar.
Dari gelapnya sumur nabi Yusuf di angkat sebagai mentri urusan pangan di Mesir.
Kepada bunda Maryam Allah mengaruniakan kedudukan yang tinggi begitu juga pada Imam Ahmad -rahimahullah-
Bahkan dalam kesendirian itu Ibnul Jauzy berhasil mnguasai qiroah sab'ah.
Hal ini seperti memberi penegasan lain pada kita bahwa kesendirian itu bukan duka maupun kesedihan. Bahkan bagi orang-orang besar, kesendirian bisa menjadi lebih bermakna dari kebersamaan. Kesendirian bagi mereka, justru membawa pada kematangan jiwa hingga mereka berhasil mengurai rantai prestasi demi prestasi besar dalam hidupnya. Sebab mereka yakin bahwa dalam sepi ada Dzat yang takkan membiarkan mereka, yang selalu mendengar munajat mereka, yang tak pernah tidur atau lengah sedikitpun dari mengurusi hamba-hamba-Nya.
Itulah mengapa kesendiria mereka menjadi berarti. Dan itulah makna kesendirian yang terkandung dalam pesan Ibnu Mas' ud -radhiallahu anhu- "Engkau adalah jamaah sekalipun engkau sendirir" atau dalam ungkapan Ibnu Taimiyah saat ia berada di balik jeruji penjara,
“Sesungguhnya aku menunggu saat-saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Pada kesempatan yang lain dia berkata:
"Seorang hamba membutuhkan kesendirian dlm ibadahnya, tafakurnya,dzikirnya & muhasabahnya".
Bagi yang masih sendiri tak perlu bersedih... Sebab ada makna yang lain dari kesendiriran seorang muslim.
Oleh: Ustadz Aan Chandra Thalib