Catatan Sederhana Untuk Pemilik Situs dakwatuna.com (Bag1)

Ada tuduhan dari situs tersebut bahwa negeri tauhid Saudi Arabia ikut campur terhadap penyerangan di Gazza membantu zionis Yahudi.

berikut linknya http://www.dakwatuna.com/2014/07/10/54344/mesir-saudi-dan-emirat-terlibat-dalam-serangan-ke-gaza/#axzz37DgTmlwi

di akhir kalimatnya "Jika As-Sisi dan jajaran pemerintahan kudetanya terlibat, maka tak mustahil Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab juga terlibat. Apalagi televisi channel 2 Israel memberitakan bahwa Emirat bersedia mendanai setiap serangan militer yang dilakukan Israel ke Hamas di Gaza. Salah seorang menteri Israel juga sudah berkunjung ke Dubai untuk membahas masalah ini. Oleh karena itu, tak mengherankan jika Simon Peres pernah mengatakan, “Dulu kita sendirian, saat ini kita tak lagi sendirian.” (msa/dakwatuna)

Tanggapan:

pertama: Adakah bukti bahwa Saudi ikut campur membantu Yahudi dalam penyerangan Gazza? Ataukah itu hanya sekedar prasangka? Kalau hanya prasangka sungguh musibah.....

Allah berfirman:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (al-Hujuraat: 12)

Adapun menjauhi kebanyakan prasangka, yaitu prasangka buruk terhadap saudaramu sesama muslim. Engkau berprasangka jelek terhadap saudaramu. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ

"Hati-hatilah kalian terhadap prasangka."

Prasangka dalam hadits ini sifatnya umum, mencakup perkataan maupun perbuatan saudaramu. Lebih lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ

"Karena sesungguhnya prasangka adalah berita yang paling dusta" [HR. Bukhari dan Muslim)

Ini adalah teks sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa prasangka adalah berita yang paling dusta yang terdapat dalam hatimu. Jika jiwamu yang ada dalam dirimu memberi kabar kepadamu dengan persangkaan-persangkaan, ketahuilah bahwa hal itu merupakan berita yang paling dusta. Jika demikian, maka hak saudaramu atas dirimu adalah engkau tidak berprasangka kepadanya kecuali prasangka yang baik dan engkau jauhi prasangka yang buruk terhadapnya. Allah memerintahkan hal ini kepadamu dengan firman-Nya.:

اِجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Jauhilah kalian dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa” (al-Hujuraat: 12)

Karena itu, prasangka buruk merupakan dosa bagi pelakunya. Dia berdosa karena telah menyelisihi hukum asal seorang muslim. Imam Ahmad telah meriwayatkan dalam az-Zuhd, dan diriwayatkan juga oleh selainnya, bahwa 'Umar pernah memberikan nasihat:

لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً

“Janganlah sekali-kali engkau menyangka dengan prasangka yang buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu, padahal kalimat tersebut masih bisa engkau bawakan pada (makna) yang baik.”

Perhatikanlah, 'Umar melarang prasangka buruk terhadap perkataan, selama masih bisa dibawakan pada makna yang benar, masih mengandung makna yang baik. Maka janganlah engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu, karena pada asalnya ia tidaklah berkata kecuali (menginginkan) kebaikan, dan ia tidak (ingin) mengucapkan kebatilan. Jika perkataannya masih mengandung makna yang baik maka bawalah perkataan tersebut pada makna yang baik, sehingga selamatlah saudaramu dari kritikan, selamatlah ia dari prasangka buruk, selamatlah engkau dari dosa, dan selamatlah ia selamat dari diikuti serta dicontoh kesalahannya. Oleh karena itu berkata Ibnul Mubarak, saorang imam dan mujahid yang masyhur:

الْمُؤْمِنُ يَطْلُبُ الْمَعَاذِيْرَ

“Seorang mukmin adalah orang yang mencari udzur-udzur (bagi saudaranya)."

Hamdun Al-Qashshar berkata:

إِذَا زَلَّ أَخٌ مِنْ أِخْوَانِكَ فَاطْلُبْ تِسْعِيْنَ عُذْرًا، فَإِنْ لَمْ يَقْبَلْ ذّلِكَ فَأَنْتَ الْمَعِيْبُ

“Jika salah seorang dari saudaramu bersalah, maka carilah sembilan puluh udzur untuknya, dan jika saudaramu itu tidak bisa menerima satu udzur pun (jika engkau tidak menemukan udzur baginya) maka engkaulah yang tercela”
(Adabul 'iysrah: hal 19)

Oleh karena itu, prasangka buruk adalah pekerjaan sia-sia yang pelakunya tidak mendapatkan apa-apa darinya, bahkan malah bisa mengantarkannya ke lembah dosa. Berkata Bakr bin Abdillah Al-Muzani (sebagaimana disebutkan dalam Siyar (IV/535) dan biografi beliau dalam Tahdzib At-Tahdzib):

إِيَّاكَ مِنَ الْكَلاَمِ مَا إِنْ أَصَبْتَِ فِيْهِ لمْ تُؤْجَرْ وَإِنْ أَخْطَأْتَ فِيْهِ أَثِمْتَ وَهُوَ سُوْءُ الظَّنِّ بِأَخِيْكَ

“Waspadalah engkau dari perkataan yang jika perkataanmu itu benar maka engkau tidak mendapat pahala, tetapi jika perkataanmu itu tidak benar maka engkau berdosa, yaitu prasangka buruk kepada saudaramu.”

Sungguh indah perkataan seorang penyair:

شَرُّ الْوَرَى بِعُيُوْبِ النَّاسِ مُشْتَغِلْ مِثْلُ الذُبَابِ يُرَاعِي مَوْطِنَ الْعِلَلْ

Seburuk-buruk manusia adalah yang sibuk mengurusi aib orang lain

ibarat seekor lalat yang hanya mencari-cari tempat yang kotor

Wahai pengelola situs dakwatuna apakah anda lupa dengan aib anda sendiri? Lihat di situs anda, anda pajang gambar perempuan berjilbab demi iklan jilbab. Tahukah anda jika gambar itu terkadang bisa menjadi fitnah dan godaan bagi para pengunjung situs anda?!

Prasangka menutup mata kita untuk melihat sisi lain dari sebuah masalah, menutup telinga kita dari penjelasan orang lain. Ia juga menutup hati dan pikiran kita dari kebaikan yang dimiliki seseorang atau menemukan solusi dari masalah tersebut. Ketika berasumsi, kita berhenti mencari fakta. Ketika berprasangka, kita menciptakan teori yang kemudian kita anggap sebagai fakta, tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Mencari udzur untuk sesama saudara termasuk jalannya as-Salafus shalih. Ditanyakan kepada Junaid, “Kenapa para sahabatmu makannya banyak?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak minum khamr, sehingga mereka lebih lapar.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa syahwat mereka besar?” Dia menjawab, “Karena mereka tidak berzina dan tidak melakukan hal yang dilarang.” Lalu ia ditanya lagi, “Kenapa mereka tidak bergoyang (bergerak-gerak karena semangat) tatkala mendengarkan al-Qur-an?” Dia menjawab, “Karena al-Qur-an adalah firman Allah, tidak ada sesuatu pun dalam al-Qur-an yang menyebabkan untuk bergoyang. Al-Qur-an turun dengan perintah dan larangan, dengan janji (kabar gembira) dan ancaman, maka Al-Qur-an adalah menyedihkan.” Begitulah seterusnya, Junaid terus mencari udzur terhadap para sahabatnya. [Lihat Adabul ‘Isyrah, hal 36.] Wallahul musta'an

Bersambung insya Allah........

Oleh: Ustadz Hizbul Majid Al-Jawi

Postingan terkait: