Meriah, semarak dan sarat dengan arti kekeluargaan. Namun demikian meriahnya acara halal bihalal sering kali menjadikan kita lalai, campur baur pria dan wanita walau tanpa hubungan mahram, bernyanyi bersama.
Seakan ied adalah alasan untuk melampiaskan hawa nafsu, makan minum sebanyak mungkin, menunda shalat, meninggalkan masjid dan melakukan apapun yang kita suka.
Seakan kewajiban menahan hawa nafsu hanya berlaku sebulan saja, sedangkan di bulan lainnya bebas kembali melampiaskannya.
Harta kekayaan hasil kerja satu tahun dihambur hamburkan dalam rangka perayaan ied. Budaya mudik, baju baru, aneka tagam makanan, renovasi rumah, perabotan baru dan masih banyak lagi lainnya. Pesta pora dalam rangka perayaan iedul fitri berlangsung hingga sepekan atau bahkan lebih.
Padahal sejatinya iedul fitri semasa Hidup Nabi shalallahu alaih wa sallam hanya sehari dan berlangsung dengan sederhana.
Sahabat Anas mengisahkan:
قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما، فقال: " ما هذان اليومان؟ "، قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما: يوم الأضحى ويوم الفطر»
Pada awal awal kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di kota Madinah, beliau mendapatkan masyarakat setempat biasa merayakan dua hari dengan cara bermain main.
Beliau bertanya kepada penduduk setempat: ada apa dengan kedua hari kalian ini? Mereka menjawab: dua hari ini adalah dua hari yang padanya kami biasa bermain main sejak zaman jahiliyah.
Rasulullah menimpali keterangan mereka dengan bersabda:
"Sejatinya Allah telah menggantikan kedua hari permainan kalian ini dengan dua hari yang lebih baik, yaitu iedul adhha dan iedul fitri." (Abu Dawud)
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
Belum ada tanggapan untuk "Halal Bihalal Antara Budaya Dan Tuntunan"
Catat Ulasan