Dulu, semasa saya masih duduk di bangku sekolah dasar SD, saya sering mendengar bapak saya berkata: le le, kowe ora sekolah yo sekolahmu ora bakal sepi! ( nak nak, kalaupun kamu tidak sekolah, maka sekolahanmu tidak bakal sepi). Sebagai anak kecil tentu saja ucapan bapak ini terasa menjengkelkan. Betapa tidak, anaknya mau sekolah kok malah dibilangi demikian. Akibatnya saya sering menangis karenanya.
Walau demikian, bapak tidak pernah jera untuk kembali mengatakan ucapan itu -di lain hari- kepada saya dan juga kepada kedua saudara saya.
Karena begitu jengkel, saya kadang kala menangis sedih, mengira bapak tidak mendukung bila anaknya pergi ke sekolah.
Bukan hanya ucapan itu saja, kadang kala bapak berkata: le, kowe sekolah itu membahas opo? Seprono seprene kok ora rampung rampung? ( nak nak, kamu sekolah itu membahas apa? Sejak sekian lama kok tidak kunjung selesai?)
Di lain kesempatan bila saya minta uang saku, bapak berkata: lo kok enak, kan mau bengi bapak turu karo kowe, opo wong turu iku iso nyetak duwet? ( lo kok enaknya? Kan tadi malam bapak tidur bersama kamu, apa memangnya orang tidur bisa mencetak uang?)
Sekian lama saya tidak mampu menangkap pesan dan maksud bapak saya dengan mengucapkan kata kata itu. Hingga kadang kala saya sedih, kok bapak nampaknya kurang mendukung bila anaknya sekolah.
Dan kini, bapak kembali melakukan hal serupa kepada keponakan-keponakan saya alias cucu cucunya. Dan efeknya serupa, keponakan saya merasa jengkel dan kadang kala menangis.
Hari demi haripun berlalu, dan SD , lalu SMP, dan Pesantren setingkat SMA berhasil saya selesaikan. Sedangkan saya belum mampu menangkap dan memahami pesan yang tersirat pada sikap dan ucapan bapak saya.
Baru, setelah saya dewasa dan melanjutkan pendidikan di SAUDI ARABIA, sedikit demi sedikit mulai bisa menangkap pesan pesan tersebut. Ditambah lagi, bapak mulai berkenan menjelaskan maksud dari sikap dan ucapannya di atas.
Menurut beliau: kalau anak memiliki minat kuat untuk belajar, dia pasti menentang ucapannya dan tetap semanga ata bahkan semakin semangat untuk sekolah. Namun bila minat anak anaknya lemah, maka sia sia saja beliau banting tulang dan peras keringat membiayai sekolah anak anaknya.
Subhanallah, walapun bapak saya hanya sekolah di tingkat SR, namun ternyata butuh puluhan tahun bagi saya untuk bisa memahami pesan dan maksud sikap beliau. Semoga Allah menjaga kesehatan beliau dan juga ibu saa serta memudahkan amal ibadah untuk mereka berdua. Amiin.
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
Belum ada tanggapan untuk "Baru Sekarang Aku Memahaminya"
Catat Ulasan