Lebih parah lagi, dalam banyak kesempatan, kita menjadikan diri kita sebagai standar penilaian. Sering kali kita merasa, bahwa kalau saya bisa, berarti semua orang pasti bisa. Dan sebaliknya bila saya tidak mampu berarti semua orang juga tidak mampu.
Lebih jauh lagi, betapa sering kita merasa tidak rela bila ada orang yang lebih baik dari kita. Demikianlah sikap “katak terperangkap dalam tempurung”, yang tanpa kita sadari sering menjangkiti kita.
Kondisi semacam ini bukan hanya berlaku pada urusan dunia dan kekayaan semata bahkan dalam urusan agama juga terjadi. Betapa sering kita yang menyalahkan orang lain hanya karena pengalaman pribadi kita, sudut pandang kita, padahal potensi kita sudah barang tentu berbeda dengan potensi orang lain, sudut pandang orang lain bisa jadi berbeda.
Betapa bijaknya pepatah orang arab yang berkata:
رحم الله امرأً عرف قدر نفسه
Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya sendiri.
Sobat! Marilah kita membiasakan diri untuk menyadari bahwa saudara kita memiliki kemampuan dan sudut pandang yang berbeda dari kemampuan dan sudut pandang kita. Selama perbedaan tersebut memiliki alasan yang kuat, mengapa kita tolak dan bahkan kita musuhi?
Sebagai contohnya: dalam urusan makan ikan, bisa jadi anda lebih memilih untuk membeli ikan di pasar, cepat dan praktis. Namun salahkah bila saudara anda lebih memilih untuk pergi ke laut dan memancing ikan sendiri?
Dalam urusan dakwah juga demikian, sah sah saja anda memilih untuk berdiam diri di belakang garis aman, sehingga berdakwah di kalangan sendiri. Boleh boleh saja anda memilih untuk menjauhi setiap pihak yang bersebrangan karena anda merasa tidak mampu untuk memberikan pengaruh. Namun itu tidak cukup sebagai alasan untuk mengharuskan orang lain bersikap yang sama.
Sahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu mengisahkan: dahulu di saat musim haji di padang Arafah, (semasa fase dakwah di Makkah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan diri beliau kepada masyarakat. Beliau berkata kepada mereka:
أَلاَ رَجُلٌ يَحْمِلُنِى إِلَى قَوْمِهِ فَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ مَنَعُونِى أَنْ أُبَلِّغَ كَلاَمَ رَبِّى
Adakah lelaki yang sudi membawaku kepada kaumnya, karena sejatinya Quraisy telah menghalang-halangiku dari menyampaikan wahyu Tuhan-ku. (Abu Dawud dan Lainnya)
Demikianlah, dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam agresif menawarkan diri kepada kabilah kabilah yang ada dengan tujuan mendapatkan peluang untuk menyampaikan Islam. Bahkan beliau juga mengutus para sahabat untuk pergi ke berbagai kabilah arab untuk berdakwah. Dan sudah barang tentu kabilah kabilah yang di datangi oleh utusan utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam kondisi musyrik. Namun demikian beliau optmis bahwa bila beliau diberi kesempatan untuk berdakwah, maka segalanya dapat berubah atas izin Allah Azza wa Jalla.
Sobat bisa nada bayangkan! Andai Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya bersikap menjauh, maka siapa yang akan mendakwahi kaum musyrikin kala itu? Bila saat ini anda yang berilmu menjauhi masyarakat hanya karena mereka berbeda dengan anda, maka siapa yang akan mendakwahi mereka?
Dan kalau anda berkilah: saya tidak mau mendatangi mereka karena kawatir saya terpengaruh oleh kebodohan mereka, maka sepenuhnya saya memaklumi dan menerima sikap anda ini. Namun tentu tidak bijak bila kemudian semua orang harus bersikap demikian. Pendek kata, betapa indahnya pepatah di atas:
رحم الله امرأً عرف قدر نفسه
Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kadar dirinya sendiri.
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
Belum ada tanggapan untuk "Andai Semua Orang Jadi Seperti Aku"
Catat Ulasan