Banyak kalangan yang mencibir penampilan saya yang sering mengenakan songkok hitam dan berbaju batik. Namun demikian, saya tidak bergeming dengan cibiran tersebut, karena saya meyakini bahwa banyak maslahat besar yang ingin saya capai dari keduanya. Selain secara tinjauan syariat tidak ada masalah dengan keduanya.
Berikut salah satu maslahat besar yang terbukti dan semakin mengukuhkan pendirian saya untuk tetap berpenampilan sewajarnya masyarakat muslim Indonesia.
Suatu hari Lembaga pendidikan saya, yaitu STDI ( Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah) Imam Syafii mendapat fitnah keji dari sebagian orang. Disebarkan isu bahwa kami tidak memiliki loyalitas kepada bangsa atau yang sering disebut dengan jiwa nasionalisme. Fitnah tersebut sengaja disebarkan secara masif, terutama kepada level pejabat pemerintah daerah Kabupaten Jember. Hingga akhirnya kami diundang oleh BAKESBANGPOL ( Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik) untuk mempertanggung jawabkan masalah ini.
Pertemuan formal itu dihadiri oleh semua unsur muspida sekabupaten Jember, ada dari kehakiman, polres, militer, MUI, diknas, dan juga FKUB.
Pada awal acara, setelah kepala Bakesbangpol membuka acara secara resmi dan menyampaikan tema pertemuan, beliau memberikan kesempatan kepada Ketua FKUB ( Forum Kerukunan Umat Beragama) untuk menyampaikan temuannya di lapangan.
Segera ketua FKUB berbicara dan menyampaikan apa yang selama ini sampai kepada beliau perihal keluhan masyarakat bahwa kami tidak memiliki nasionalisme.
Di tengah tengah ia menyampaikan apa yang ia dengarkan, saya meminta izin untuk sedikit menyela dan akhirnya diizinkan.
Saya berkata: maaf para hadirin sekalian, yang saya fahami forum ini adalah forum resmi yang difasilitasi oleh instansi pemerintah. Kita membicarakan tuduhan seputar nasionalisme. Dan sebatas yang saya fahami nasionalisme dalam forum resmi disimbulkan dengan dua hal:
1. Pembukaan acara yang ditandai dengan pemukulan gong.
2. Seragam nasionalisme berupa baju nasional yang berupa baju batik.
Dan kebetulan acara kita ini tidak dibuka dengan pemukulan gong, sehingga tersisa satu indikator, yaitu pakaian batik.
Bila pemahaman saya ini benar, maka saya mohon kepada hadirin sekalian untuk melihat baju masing masing, siapakah yang pada acara ini benar benar mencerminkan seorang yang nasiolanis?
Segera semua hadirin clingukan kanan dan kiri, dan ternyata hanya saya yang mengenakan baju batik dan songkok hitam. Seakan mereka terpukul, sehingga semuanya terdiam seribu bahasa.
Setelah menyampaikan hal di atas, saya kembalikan kesempatan berbicara kepada ketua FKUB.
Bukannya meneruskan penyampainnya tentang laporan dan keluhan masyarakat tentang nasionalisme, ketua FKUB berbalik 180 drajat. Ia berkata : betul, betul, sekarang saya sudah paham, dan nampaknya tema ini telah terjawab dengan jelas. Bila demikian saya rasa tidak ada perlunya kita melanjutkan pembahasan ini. Kita sudah bisa membuat laporan kepada bapak Bupati bahwa tuduhan ini tidak benar dan fitnah belaka.
Majlis yang sedianya disiapkan untuk terjadi tarik ulur, adu argumen dan data, ternyata segera ditutup tanpa ada adu argumen sedikitpun. Semua selesai gara gara seluruh hadirin merasa malu, mereka berbicara tentang nasionalisme namun tidak mengenakan pakaian nasional, justru orang yang dituduh tidak berjiwa nasionalismelah yang mengenakan baju nasional.
Saudara bisa bayangkan, tema yang begitu gawat dan serius, ternyata terselesaikan dengan begitu mudah, berkat pertolongan Allah, kemudian baju batik dan songkok hitam.
Kisah ini, adalah sekelumit contoh dari sekian banyak kejadian yang saya alami menghadapi berbagai tuduhan atau fitnah masyarakat kepada saya. Dan kisah di atas semakin mengukuhkan tekad saya untuk tetap menjaga penampilan yang memasyarakat, berpeci hitam dan mengenakan pakaian yang biasa dipakai oleh masyarakat.
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri
Belum ada tanggapan untuk "Negoisasi Baju Batik dan Songkok Hitam"
Catat Ulasan