FENOMENA RUWAIBDHOH

Disebuah negri entah berantah..
Dengal modal kecakapan mengolah kata, seseorang dengan mudahnya di ustadzkan..
Dengan Modal Al Qur'an dan terjemahan seseorang bisa langsung menafsirkan Al-Qur'an.
Ada lagi yang masuk Islam hari ini, besoknya langsung jadi da'i..
Asal bisa bahasa arab, bermodalkan Lap Top atau Tablet langsung buka pengajian dan punya murid plus nongol di tv.
Sesekali jadi aktor buat film "religi"..
Karena merasa disaingi oleh sang da'I artis-artis juga tak mau kalah. Mereka bahkan menjadi rujukan fatwa pada masaalah-masalah yang memerlukan kompetensi fiqih tingkat tinggi.
Kabar terakhir yang saya terima, ada mentalis yang tiba-tiba jadi mufassir..
Konon tafsirny "luar biasa".
Iya, "luar biasa" karena keluar dari yg biasa..

Dinegri itu juga..
Semua orang -kecuali yang dirahmati Allah- merasa kurang kalau tidak bicara soal agama, tak peduli apa latar belakang pendidikannya.
Bahkan merupakan sesuatu yang WAH dan perlu mendapat apresiasi apabila ada orang berbicara bukan pada bidangnya.
Dengan bermodalkan gelar Prof. Dr. Anda bebas untuk bicara dibidang apa saja yang anda mau..
Senin Jadi Pakar Hukum
Selasa Jadi Pengamat Ekonomi
Rabu Jadi Kriminolog
Kamis Jadi Pengamat Politik
Jum'at Jadi Khotib
Sabtu Jadi Ahli Komunikasi
Ahad Jadi Komentator Bola.
Biar keren, tak perlu panggil Ust. Cukup "Cendikiawan Muslim" saja

Senjatanya gak jauh-jauh dari:
Menurut saya...
Menurut hemat kami...
Menurut pengamatan saya...
Saya sih melihatnya boleh-boleh saja...

Padahal...
“Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Ibnu Sirin)

Para salaf terdahulu sangat takut untuk mengomentari sesuatu dalam agama tanpa ilmu. Mereka takut untuk tergelincir walau sejengkalpun dari manhaj rabbani

Ibnu Abi Malikah -rahimahullah- berkata : berkata Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallaahu 'Anhu : ‘Bumi mana yanag akan aku pijak, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitab Allah dengan ra’yuku atau dengan apa yang aku tidak tahu.’

Ibnu Asaakir meriwayatkan dalam taarikh Dimayq, bahwa. Atho Ibnu Rabah -rahimahullah- pernah ditanya tentang sesuatu. Beliau menjawab:
"Aku tidak tahu, penanya tadi berkata: Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu dalam masaalah ini..? Atho menjawab:

إني أستحي من اللَّه أن يدان فِي الأرض برأيي

"Aku malu pada Allah, jika orang-orang dimuka bumi ini beragama dengan pendapatku"

Bandingkan sifat kehati-hatian salaf dengan sifat sebagian orang saat ini, yang ilmunya tidak sampai sepersepuluh dari ilmu mereka, namun lagaknya sudah seperti mujtahid mutlak, begitu gampangnya menghukumi sesuatu. mengomentari sesuatu.

Sebagai catatan:
Apapun Latar belakang pendidikan seseorang tak jadi masalah, hanya saja kenalilah kapasitas diri. Setiap bidang punya ahlinya.

Bagi penuntut ilmu, fenomena diatas bukan hal yang mustaghrab (patut dianggap aneh) sebab Rasullah shallahu alaihi wasallam telah jauh-jauh hari mengabarkan akan munculnya fenomena ini

Sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah)

Manyikapi fenomena diatas marilah sejenak Bersama Petunjuk Rabbani:

Allah azza wa jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS Al Isra`: 36]

Dia juga berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram.” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” [QS An Nahl: 116]

Dan firman-Nya:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي

"Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata." [QS Yusuf: 108]

Dua Ayat pertama diatas mengandung pelarangan berbicara tanpa ilmu.
Adapun ayat selanjutnya menerangkan bahwa apabila kita ingin berdakwah, hendaklah melandasi dakwah kita dengan hujjah berupa ilmu dan dalil dari Al Quran maupun hadits.

Apabila seseorang berdakwah tanpa landasan ilmu maka bisa jadi dia menyangka telah menyeru kepada kebaikan, namun pada kenyataannya dia telah menyeru kepada kesalahan dan kebid'ahan. Na'udzubillahi min dzalik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah berkata:
"....Jika hal itu (ilmu dan fiqih) menjadi tolak ukur seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar untuk memenuhi keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaimana pernyataan Umar bin Abdil Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya”

Beliau melanjutkan...
Ini sangat jelas, karena niat dan amal yang tidak disertai ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan (bentuk) pengikutan terhadap hawa nafsu, maka dari itu ia harus mengetahui kema’rufan dan kemunkaran dan dapat membedakan keduanya serta harus memiliki ilmu tentang apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.” (Secara ringkas dari Majmu’ Fatawa 28 hal: 135-137. Jilid: 14 bagian ke dua hal: 78 untuk cetakan Daarul wafaa').

Semoga catatan singkat ini bermanfaat untuk saya dan pembaca.

By: Ustadz Aan Chandra Thalib

Postingan terkait: