Di tengah perjalanan, di tempat yang sepi dan jauh dari lalu lalangnya manusia, orang yang menemaninya justru ingin merampok hartanya dan membunuhnya. Setelah orang itu diingatkan dengan Allah l dan azab-Nya namun tetap pada tekadnya untuk membunuh, akhirnya dia pasrah.
Ia meminta waktu untuk shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Ketika ia berdiri shalat tak ada satu ayat pun yang bisa keluar dari lisannya karena dahsyatnya keadaan. Selang beberapa saat, keluar dari lisannya ayat:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan, dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (an-Naml: 62)
Lalu, dia melihat seorang penunggang kuda membawa tombak mendatanginya dengan cepat. Setelah dekat, orang itu langsung menombak si perampok tersebut hingga mati. Orang itu ditanya, “Siapa kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah utusan Dzat yang mengabulkan doa orang yang kesulitan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Naml ayat 62, 3/383)