Kambing Hitam

Kasihan sekali kambing berwarna hitam selalu diposisikan sebagai korban. Entah, siapa dan apa alasan memilih kambing berwarna hitam untuk menggambarkan pihak yang selalu dikorbankan, padahal ia tidak bersalah.

Konon pepatah tersebut ada kaitannya dengan kisah keinginan Nabi ibrahim alaihissalam untuk menyembelih putranya nabi Ismail alaihissalam yang kemudian Allah gantikan dengan seekor kambing gibas. Kebenaran anggapan ini, masih perlu ditinjau ulang keakuratannya, dan belum pantas untuk diyakini atau dibenarkan.
Namun demikian, sikap selalu mencari kambing hitam, tanpa ada kesiapan atau upaya untuk instropeksi diri bahwa sejatinya dirinya juga memiliki andil dalam masalah yang terjadi, adalah cermin dari lemahnya kepribadian pelakunya.

Fakta telah membuktikan bahwa dalam banyak kasus, pihak pihak yang hobi menuduh dan segera cuci tangan, sejatinya merekalah yang menjadi biang masalahnya.

Sebagai contoh nyata: masalah perselisihan pendapat para ulama' telah terjadi sejak dahulu dan akan terus terjadi hingga akhir masa. Namun demikian, walau berbeda pendapat mereka tetap bisa bersaudara dan menjalin hubungan yang harmonis.

Fakta ini dalam banyak kesempatan diabaikan oleh murid dan pengikut, yang mengesankan bahwa perbedaan antara ulama' adalah benih perpecahan dan permusuhan. Mereka beranggapan bahwa sebagai bentuk kesetiaan kepada sang guru, atau ulama' panutannya, maka mereka harus mengeluarkan taring dan kukunya.

Sobat! Ketahuilah bahwa perbedaan pendapat diantara ulama' sering kali membawa banyak kebaikan, selama perbedaan tersebut mengindahkan etika dan kaedah pendalilan atau ijtihad yang telah digariskan para ulama' sebelumnya.

Perbedaan ijitihad, sering kali mendorong ulama' untuk terus menggali ilmu dan lebih bersungguh sungguh dalam memahami masalah dari segala aspeknya. Dengan demikian, terwujudlah nuansa keilmuan yang berguna bagi pengembangan ilmu yang berujung pada ketajaman cara pandang dan meningkatnya kemampuan para ulama'.

Qatadah As sadusy berkata:

من لم يعرف الاختلاف لم يشم رائحة الفقه بأنفه

Barang siapa yang belum mampu memahami perbedaan pendapat yang terjadi antara para ulama' maka sejatinya hidungnya belum mampu mencium aroma ilmu fiqih (apalagi menjadi ahli fiqih).

Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri

Postingan terkait: