Hal serupa, juga terjadi dengan orang kota yang pertama kali ke kampung. Sekedar melihat anak angsa, atau anak kambing yang baru lahir, kedua matanya terbelalak kagum, dan lisannya segera berucap: wooow, cihui, menakjubkan, atau luar biasa.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan frekwensi kedatangannya ke kota atau ke desa, sedikit demi sedikit, kondisi tersebut berubah. Hingga pada saatnya orang kampung tersebut tidak lagi canggung dan benar-benar beradaptasi dengan kondisi di kota. Dan orang kota tersebut juga terbiasa dengan pemandangan yang ia saksikan di desa.
Fenomena tentang orang desa dan kota ini sejatinya adalah ilustrasi sederhana tentang bagaimana sikap dan perilaku orang yang menghadapi hal baru dalam hidupnya.
Kondisi seperti di atas juga berlaku pada orang yang tidak pernah membuka mata dan telinga terhadap berbagai dinamika dalam dunia ilmu pengetahuan.
Perbedaan pendapat antara ulama’ dianggap sebagai satu hal yang mengherankan dan disikapi berlebihan oleh orang-orang yang seumur hidupnya tidak pernah mengetahui adanya perbedaan tersebut. Mereka mengira bahwa dunia bisa hancur dan kacau balau bila terjadi perbedaan, mereka menuntut agar semua ulama’ dan juru dakwah selalu bersepakat, seiya dan sekata dalam segala masalah.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, bila ia rajin membuka mata dan telinga dan mencermati buku buku para ulama’, maka semuanya akan terasa biasa saja.
Dahulu Atha’ berkata:
لا ينبغي لأحد أن يفتي الناس حتى يكون عالما باختلاف الناس فإنه إن لم يكن كذلك رد من العلم ما هو أوثق من الذي في يديه
Tidak pantas bagi siapapun untuk memberi fatwa kepada orang lain hingga ia mengetahui perbedaan pendapat yang terjadi antara para ulama’. Karena bila tidak mengetahuinya, bisa jadi ia menentang ilmu yang lebih kuat dibanding apa yang ia pahami/pelajari.
Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri