Prof Dr Basim Faishal al Jawabirah menceritakan : “…Saat itu aku masih belajar di jenjang SMA. Bersama beberapa pemuda, kami mengkafirkan kaum muslimin dan enggan mendirikan sholat di masjid- masjid umum. Alasan kami, karena mereka adalah masyakarat jahiliyah. Orang-orang yang menentang kami, selalu saja menyebut-nyebut nama Syaikh al-Albâni rahimahullah, satu-satunya orang yang mereka anggap sanggup berdialog dengan kami dan mampu melegakan kami dengan argumen-argumen tajamnya serta mengembalikan kami ke jalan yang lurus.
Ketika Syaikh datang ke Yordania dari Damaskus, beliau diberitahu adanya sekelompok pemuda yang seringkali mengkafirkan kaum muslimin. Lantas mengutus saudara iparnya, Nizhâm Sakjiha – kepada kami untuk menyampaikan keinginan beliau untuk berjumpa dengan kami.
Dengan tegas kami jawab: “Siapa yang ingin berjumpa dengan kami, ya harus datang, bukan kami yang datang kepadanya”.
Akan tetapi, Syaikh panutan kami dalam takfir memberitahukan bahwa al-Albâni rahimahullah termasuk ulama besar Islam, ilmunya dalam dan sudah berusia tua. Ia pun mengarahkan supaya kami lah yang mendatangi beliau.
Lantas kami pun mendatangi beliau di rumah iparnya, Nizhâm , menjelang sholat Isya. Tak berapa lama, salah seorang dari kami mengumandangkan adzan. Setelah iqamah, Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata:
“Kami yang menjadi imam atau imam sholat dari kalian?”.
Syaikh kami dalam takfir berujar: “Kami meyakini Anda seorang kafir”
Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: “Kami masih yakin kalian orang-orang beriman (kaum Muslimin)”.
Syaikh kami akhirnya memimpin sholat. Usai sholat, Syaikh al-Albâni rahimahullah duduk bersila melayani diskusi dengan kami sampai larut malam. Syaikh kami lah yang berdialog dengan Syaikh al-Albâni rahimahullah. Sedangkan kami dalam rentang waktu yang lama itu, sesekali berdiri, duduk lagi, merentangkan kaki dan berbaring. Anehnya, kami lihat Syaikh al-Albâni rahimahullah tetap dalam posisi awalnya, tidak berubah sedikit pun, meladeni argumen beberapa orang. Saat itu, aku benar-benar takjub dengan kesabaran dan ketahanan beliau!!
Kemudian, kami masih mengikat janji untuk berjumpa lagi dengan beliau keesokan hari. Sepulangnya kami ke rumah, kami mengumpulkan dalil-dalil yang menurut kami mendukung takfir yang selama ini kami lakukan. Syaikh al- Albâni rahimahullah hadir di salah satu rumah teman kami. Persiapan buku dan bantahan terhadap Syaikh al-Albâni rahimahullah telah kami sediakan. Pada kesempatan kedua ini, dialog berlangsung setelah sholat Isya` sampai menjelang fajar menyingsing.
Perjumpaan ketiga berlangsung di rumah Syaikh al-Albâni rahimahullah. Kami berangkat ke rumah beliau setelah Isya. Dialog pada hari ketiga ini berlangsung sampai adzan Subuh berkumandang. Kami mengemukakan banyak ayat yang memuat penetapan takfir secara eksplisit. Begitu pula, hadits-hadits yang mengandung muatan sama yang menetapkan kekufuran orang yang berbuat dosa besar. Setiap kali menghadapi argumen-argumen itu, Syaikh al-Albâni rahimahullah dapat mematahkannya dan justru ‘menyerang’ balik dengan membawakan dalil yang lain. Setelah itu, beliau mengakomodasikan dalil-dalil yang tampaknya saling bertolak belakang itu, menguatkannya dengan keterangan para ulama Salaf dan tokoh-tokoh umat Islam terkemuka di kalangan Ahlus Sunnah wal jama'ah.
Begitu adzan Subuh terdengar, sebagian besar dari kami bergegas bersama Syaikh al-Albâni rahimahullah menuju masjid untuk menunaikan sholat Subuh. Kami telah merasa puas dengan jawaban Syaikh al-Albâni rahimahullah tentang kesalahan dan kepincangan pemikiran yang sebelumnya kami pegangi. Dan saat itu juga kami melepaskan pemikiran- pemikiran takfir tersebut, alhamdulillah. Hanya saja, ada beberapa gelintir dari kawan kami yang tetap menolaknya. Beberapa tahun kemudian, kami mendapati mereka murtad dari Islam. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kepada keselamatan”
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan bagi kita sekalian untuk mengambil pelajaran dari sejarah ulama Islam.
(Diadaptasi dari al-Imâm al-Albâni, Durûs Wa Mawâqif Wa ‘Ibar hal
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Muhammad bin ‘Abdullah as-Sadhân hal 155-158)