Berjualan Cinta, Mengakunya Cinta Sejati

Kasih sayang dan cinta suci antara dua insan yang berbeda jenis, sebaiknya dipadu hingga ke pelaminan. Keduanya bisa menyatukan rasa cinta dan membuktikan manisnya rasa cinta suci. Ketulusan, pengorbanan, kesetiaan, dan kedamaian sungguh terasa dalam pernikahan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«لم نر - ير - للمتحابين مثل النكاح»

Tiada ikatan yang paling berguna bagi dua insan yang saling mencintai dibanding pernikahan. (Ibnu Majah)

Namun demikian, kadang kala, dua insan yang dahulu saling mencintai, terpaksa harus berpisah. Kodrat ilahi menentukan bahwa cinta antara kedua insan tersebut hanya cukup untuk mendorong roda roda pedati rumah tangga mereka dalam beberapa waktu saja. Karena cinta telah pudar bahkan telah sirna, maka dengan sangat terpaksa pedati rumah tangga merekapun mogok bahkan rusak.

Dalam kondisi semacam ini, sering kali masing masing pihak berkata: dialah penyebab perceraian ini. Langka dari kedua insan itu yang berkata dengan jujur: sayalah biang perpisahan ini, alih alih mengakui semua, sekedar mengakui bahwa dirinya juga punya andil saja tidak sudi.

Sobat! Ketahuilah bahwa kesetiaan yang sejati ialah kesetian yang anda berikan ketika anda dikhianati atau dizholimi. Adapun setia di saat ia setia, berbuat baik di saat dia berbuat baik maka sejatinya itu hanyalah praktek barter alias memperdagangkan cinta dan kesetian. Cinta sejati ialah cinta yang anda berikan walaupun dia telah membenci, hingga akhirnya iapun tak kuasa untuk terus membenci. Cinta yang sejati anda tersebut dapat merubah kebencian menjadi cinta dan kesetiaan.

Namun demikian, betapa banyak orang yang belum bisa memahami arti kehidupan ini, sehingga mereka bisa tertawa terbahak bahak, disaat melihat saudaranya terperosok dalam lumpur, walaupun dirinya sedang berada dalam lumpur yang sama. Itulah manusia, maunya tampil suci walaupun dirinya sedang berlumuran lumpur.

Dalam kehidupan kita sehati hari, banyak orang yang ingin tampil suci dengan berkata: mengapa dia tidak mau mengucapkan salam kepada saya setiap kali berjumpa? Padahal orang tersebut juga berkata: mengapa dia tidak mengucapkan salam kepada saya setiap kali berjumpa. Bila demikian, terbayang sudah, mustahil rasanya mereka bisa bersatu dan bersahabat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

«لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ»

Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari tiga hari, akibatnya setiap kali mereka berdua berjumpa, yang ini memalingkan wajahnya dan yang itupun juga memalingkan wajahnya. Orang yang paling baik dari mereka adalah yang terlebih dahulu mengucapkan salam. (Muttafaqun alaih)

Dalam konteks silaturrahim, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنِ الوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا»

Tidak dikatakan menyambung tali slilaturrahim orang yang biasa membalas kunjungan atau pemberian, namun orang yang menyambung tali silaturrahim ialah orang yang berusaha menjaga/ menyambung hubungan silaturrahimnya dengan kerabat yang telah memutuskan hubungan dengannya. (Muttafaqun 'alaih)

Sobat! Sikap dan pola pikir semacam ini sepatutnya kita pelajari dan kita terapkan dalam kehidupan kita sehari hari, agar hidup kita menjadi tentram dan nyaman.

Oleh: Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri

Postingan terkait: