Pertarungan Budaya Lokal dan Islam

Pembacaan al Qur’an menggunakan gaya Jawa yang kental, pada peringatan hari Isra Miraj di Istana Negara pada Jumat lalu (15/5/2015) mengundang polemik di berbagai kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat mengutip fatwa-fatwa ulama yang melarang pembacaan al Quran dengan gaya baca selain Arab dengan dasar bahwa al Quran diturunkan dalam bahasa Arab sehingga membaca dengan gaya Arab adalah hal yang sudah semestinya, sedangkan sebagian lagi mendukung dengan alasan pelestarian budaya lokal.

Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin melalui twitternya memberikan keterangan bahwa pembacaa dengan langgam Jawa itu adalah idenya dan hal ini bertujuan untuk menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah air. Kementerian Agama sendiri sebelumnya telah merilis kebijakan terkait ini (6/6/2015) melalui situs resminya bahwa langgam bacaan al Quran khas Nusantara akan memperkaya khazanah qiraah Indonesia dan menunjukkan tingginya perhatian umat Islam Indonesia terhadap al Quran. “Tentu saja dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Dan saya berharap Bayt al Quran dapat menjadi rumah bagi segala sesuatu yang terkait dengan Quran”, demikian harap Menag dalam situs resmi Kemenag. Dukungan terhadap kebijakan Menag ini pun mendapat dukungan dari sebagian masyarakat dengan alasan yang sama: Melestarikan budaya lokal dalam ranah keIslaman.

Terlepas dari polemik tentang boleh tidaknya membaca al Quran dengan gaya lokal, di sini kita bisa bertanya dengan pertanyaan besar: Sebenarnya bagaimana Islam memposisikan budaya lokal dalam sendi ajarannya? Apakah dengan memasuki Islam maka budaya lokal dinafikan? Ataukah memiliki porsi sendiri dalam kehidupan beragama? Tulisan ini akan mencoba melongok transformasi budaya lokal di masa turunnya Islam itu sendiri karena jauh sebelum kita manusia modern berbicara tentang konflik budaya lokal dan Islam, maka masyarakat Arab waktu itu sudah jauh lebih dahulu menghadapi masalah tersebut.

Arab Kehilangan Sebagian Budayanya

Turunnya Islam di tanah Arab membawa perubahan sosial yang sangat besar . Hal ini dipersaksikan oleh pelaku di masa itu, di antaranya Jafar bin Abu Thalib dalam pidatonya di hadapan raja Habasyah waktu itu, Najasyi. Jafar, sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu Hisyam dalam buku sejarahnya Sirah an Nabawiyah, berkata, “Paduka Raja, dulu kami adalah orang-orang jahiliyah. Kami menyembah berhala, makan bangkai, melakukan kekejian, biasa memutuskan kekeluargaan, berlaku buruk kepada tetangga, dan orang kuat di antara kami ‘memakan’ yang lemah. Namun setelah Allah mengutus seorang Rasul dari kalangan kami sendiri yang kami ketahui garis keturunannya, beliau mengajak kami agar bertauhid dan hanya menyembah-Nya, meninggalkan tuhan-tuhan selain Allah, yang selama ini sesembahan kami dan nenek moyang kami berupa batu maupun berhala. Beliau menyuruh kami agar berkata jujur, menunaikan amanah, menjaga kekeluargaan, bertetangga dengan baik, menjauhi perkara-perkara yang haram dan tidak menumpahkan darah. Beliau melarang kami berbuat keji, berkata bohong, makan harta anak yatim dan menuduh wanita-wanita yang baik. Beliau menyuruh kami agar menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya dengan apapun”. Apa yang disampaikan Jafar menunjukkan adanya transformasi masyarakat yang sangat besar dan dalam, bukan hanya tampak luar saja melainkan masuk ke dalam value dan faith masyarakat Arab waktu itu.

Masyarakat Arab seolah-olah telah memutus garis tatanan masyarakat lama dan berpindah ke tatanan masyarakat baru dengan Islam. Hal ini pun ditegaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadits: “Ketahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliyah telah terkubur di bawah telapak kakiku”. Ibnu Taimiyah dalam komentarnya terhadap hadits tersebut berkata: Makna dari hadits ini adalah seluruh perkara jahiliyah berada di bawah telapak kakiku termasuk dalam hal ini adalah segala hal yang dilakukan oleh orang Arab waktu itu dalam ibadah, budaya seperti hari-hari raya mereka, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Sedangkan kebudayaan-kebudayaan mereka yang masih diakui Islam maka tidak termasuk dalam hal tersebut, seperti manasik, denda untuk pembunuhan orang, dan lain sebagainya. Yang dipahami dari kata budaya-budaya jahiliyah adalah hal-hal yang tidak diakui Islam dan termasuk di dalamnya yaitu kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus. Dari keterangan itu kita pahami bahwa masyarakat Islam di awal turunnya dulu menempatkan Islam sebagai sebuah sistem sosial budaya yang menggeser sebagian budaya lokal yang telah ada sebelumnya. Sebagian budaya lokal yang masih tersisa adalah yang kemudian diadopsi dan dilegalkan sebagai bagian dari Islam itu sendiri, sehingga pada hakikatnya sebagian budaya lokal tersebut telah berubah jiwanya menjadi budaya Islam.

Meta-text adalah Kelaziman

Mengapa Islam diposisikan sedemikian rupa sebagai sebuah meta-text? Tidak lain adalah karena unsur keilahiyahan yang dikandung Islam diterima oleh masyarakat Arab waktu itu. Maksudnya adalah, masyarakat Arab yang memeluk Islam pada waktu itu melihat bahwa tatanan sosial yang ditawarkan Islam adalah tatanan sosial yang dibuat oleh Allah dan mereka menempatkan tatanan sosial tersebut jauh di atas tatanan sosial lain yang notabene buatan manusia, termasuk tatanan sosial jahiliyah.

Penolakan sebagian masyarakat Arab waktu itu terhadap Islam dengan mengatakan bahwa al Quran adalah buatan Muhammad, atau Muhammad adalah penyihir dan gila, dapat kita maknai bahwa mereka hendak menolak sisi keilahiyahan dalam Islam dan menempatkan Islam setara dengan nilai-nilai budaya manusia lainnya.

Dua atau lebih budaya yang setara dan eksis dalam satu masyarakat maka acapkali akan berakibat adanya akulturasi dan asimilasi budaya. Tetapi bila salah satu dari budaya tersebut ditempatkan lebih tinggi dari yang lain, maka pergeseran dan transformasi sosial-lah yang akan muncul dalam masyarakat tersebut dengan mengganti tatanan hidup mereka. Faktor yang kita kenal sebagai iman, faith, believe adalah faktor yang menyebabkan hal ini. Dengan kata lain, menempatkan Islam sebagai teks sosial tertinggi yang tidak setara dengan lainnya adalah suatu kelaziman dari iman tersebut, sebagaimana masyarakat Arab di masa awal Islam dahulu. Perkataan al Bukhari dalam salah satu bab dalam Shahih-nya, “Islam itu tinggi dan tidak ada yang setara dengannya” adalah salah satu manifesto kelaziman iman ini.

Oleh karena itu, sebagaimana terjadi di awal-awal Islam itu turun, hilangnya sebagian budaya lokal dan terintegrasinya sebagian lainnya yang bersesuaian dengan nilai Islam dalam masyarakat Islam adalah sebuah kelaziman dari iman bagi umat Islam. Sebaliknya, akulturasi dan asimilasi budaya lokal dengan Islam akan muncul pada masyarakat yang menempatkan Islam sebagai sebuah unsur budaya manusia, setara dengan budaya-budaya lainnya.


Oleh: Andy Bangkit Setiawan (Associate Professor di Bidang Sejarah Pemikiran dan Budaya, Nagoya University, Jepang)

(2015.05.25)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pertarungan Budaya Lokal dan Islam"

Catat Ulasan